Katoliknews.com – Paus Fransiskus menyerukan dan mendesak semua pihak untuk mengakhiri kekerasan di Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma, di mana sebuah Gereja Katolik dihancurkan.
Pada audiensi dengan umat beriman yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus usai usai Angelus hari Minggu, 22 Januari 2022, Paus menyatakan kesedihannya atas peristiwa tragis yang terjadi di Myanmar, mengingat secara khusus serangan terhadap tempat-tempat ibadah, termasuk pembakaran dan penghancuran Gereja Katolik baru-baru ini.
Gereja Our Lady of the Assumption di Chan Thar yang menjadi sasaran serangan itu merupakan salah satu tempat ibadah tertua dan terpenting di negara ini.
Paus mengatakan, dia dekat dengan penduduk sipil, yang sangat menderita di banyak kota, dan dia berdoa agar konflik segera berakhir dan waktu baru dapat dibuka yang ditandai dengan pengampunan, cinta, dan perdamaian.
Dia kemudian mengundang semua yang hadir di Lapangan itu untuk bergabung dengannya dalam doa Salam Maria untuk Myanmar.
Sebelumnya, menurut Fides, kantor berita Vatikan, Junta militer Myanmar membakar gereja di Chan Thar, sebuah desa yang dihuni oleh umat Katolik di wilayah Sagaing di wilayah Keuskupan Agung Mandalay di timur laut negara itu.
Selama serangan pada 15 Januari lalu, tentara juga membakar biara suster-suster Fransiskan Misionaris Maria (FMM).
Para suster terpaksa melarikan diri bersama sekitar 3.000 penduduk desa, yang rumahnya, berjumlah sekitar 500 unit, juga dihancurkan. Hanya puing-puing yang tersisa dari warga desa itu.
Bentrokan berlanjut di daerah tersebut, dan sumber-sumber lokal mengatakan kepada Fides bahwa daerah tersebut dianggap sebagai tempat kubu pemberontak Pasukan Pertahanan Rakyat, yang menentang junta militer Burma yang berkuasa melalui kudeta pada Februari 2021.
Uskup Agung Mandalay Mgr. Marco Tin Win menyesalkan bahwa rakyat Myanmar “hidup dalam masa penderitaan yang hebat”.
“Separuh wilayah Keuskupan Agung Mandalay terkena dampak bentrokan dan ini sangat mengkhawatirkan kami,” kata Mgr. Marco Tin Win, seperti dilansir Vaticannews.com.
“Kami membantu ribuan pengungsi internal, di lima pusat yang didirikan di lima paroki Katolik: kami melakukan apa yang kami bisa,” ujarnya.
“Kekerasan berkecamuk terutama di beberapa daerah,” tambah Uskup Agung, “kami tidak kehilangan harapan karena kami tahu Tuhan menyertai kami.”
Dia mengatakan, orang beriman selalu percaya pada Tuhan.
“Fakta bahwa kapel adorasi dari gereja yang hancur terhindar dari api,” katanya, “adalah fakta simbolis yang menghibur umat beriman dan mengingatkan mereka bahwa satu-satunya tempat berlindung kita adalah Tuhan.”
Suster Rita, salah satu suster yang terpaksa melarikan diri, mengatakan bahwa dia dan para suster lainnya meminta penduduk desa untuk meninggalkan rumah mereka, dan “untuk tidak melawan tentara, demi menghindari pembantaian dan kebrutalan.”
“Tentara,” katanya, “ingin menumpas setiap perlawanan dari warga sipil. Mereka memasuki desa-desa, menempati gedung-gedung seperti sekolah, gereja, dan kamp di sana. Dari sana, mereka melakukan penggerebekan dari rumah ke rumah untuk menumpas pemberontak. Mereka tinggal di gereja kami selama tiga hari dan ketika mereka pergi, mereka membakar gereja dan biara kami.”
“Ajaibnya, kapel adorasi gereja tidak ikut terbakar. Kami melihat tanda dari Yang Mahatinggi di sana: bahkan dalam kekerasan yang brutal dan tidak masuk akal ini, Tuhan selalu bersama kami,” ujarnya.
Ia mengatakan, sebelumnya wilayah mereka dikenal sebagai wilayah yang harmonis, namun sekarang berubah menjadi “tempat kehancuran dan puing-puing. Mengerikan.”
Dii wilayah ini, Gereja Katolik lahir dari penginjilan para religius dari Serikat Misi Asing Paris (MEP), yang menetap sejak abad ke-19. Banyak panggilan menjadi imam dan religius dari tempat ini.
Selain itu,di wilayah ini ada seminari, lembaga pelatihan untuk katekis, dan gedung gereja yang berkembang pesat selama beberapa dekade.
Seorang imam dari Chan Thar, Pastor Joseph, mengungkapkan kekecewaannya terhadap para militer itu.
“Militer Burma bukan lagi prajurit profesional, dengan etika atau misi membela bangsa, mereka telah menjadi kelompok bersenjata tanpa kendali, melakukan segala jenis kejahatan, pelanggaran, dan kesalahan,” tandasnya.
Ia mengungkapkan, banyak penduduk setempat yang masih marah dan kecewa. Pasalnya, ada sebelas anak yang meninggal dalam serangan udara oleh tentara di daerah berpenduduk sipil di Sagaing pada bulan September lalu.
Sejak kudeta militer tahun 2021 yang menggulingkan pemerintah yang terpilih secara demokratis, Myanmar telah mengalami serangkaian krisis politik, sosial, dan ekonomi, dan muncul kekerasan sejak kudeta militer tahun 2021 yang menggulingkan pemerintah yang terpilih secara demokratis.
Ribuan orang kemudian ditangkap atau dibunuh tanpa sebab.
Kekekrasan di Peru, Ukraina, dan Kamerun
Paus juga mengecam kekerasan di Ukraina dan Peru, sambil mengungkapkan harapannya bahwa langkah menuju perdamaian dapat terus dilakukan dari Kamerun.
Paus Fransiskus mengatakan, dia prihatin dengan situasi kritis di Peru, dan menyerukan dialog dan solusi damai untuk krisis tersebut. Paus menyatukan suaranya dengan para Uskup Peru dengan mengatakan, “tidak untuk kekerasan dari mana pun datangnya!, tidak sampai mati!”
Di Peru, demonstrasi terus meningkat di ibu kota negara Amerika Selatan, Lima, karena lebih banyak pengunjuk rasa datang dari wilayah Andes menuntut pengunduran diri Presiden dan menyerukan pemilihan segera.
Bapa Suci berkata untuk berdoa bagi negara Amerika Latin ini.
Paus juga membuat seruan tulus lainnya untuk perdamaian di Ukraina, mengingat rasa sakit luar biasa yang diderita rakyat Ukraina, karena perang terus berkecamuk, selama hampir satu tahun penuh. Dia berdoa agar Tuhan memberi mereka penghiburan dan dukungan.
Terakhir, Paus mengalihkan perhatiannya ke Kamerun, di mana dia mencatat perkembangan positif yang membawa harapan akan penyelesaian konflik di wilayah Anglofon.
Dia menawarkan dorongannya kepada semua yang terlibat dalam implementasi perjanjian perdamaian untuk bertahan di jalan dialog dan saling pengertian, karena hanya dengan bertemu satu sama lain masa depan dapat dibangun bersama.
Di Kamerun, pemerintah negara dan beberapa faksi separatis di wilayah berbahasa Inggris di negara itu telah sepakat untuk memasuki proses yang bertujuan menyelesaikan konflik yang telah menewaskan lebih dari 6.000 orang.
Ian Saf
Komentar