Oleh: RP DESIDERAMUS ANSBI BAUM, OFM
“Apa yang paling saudara takutkan dalam perkara kemurnian?”
”Sifat tergesa-gesa,” jawab William.
Percakapan itu terjadi dalam The Name of the Rose, sebuah novel karya Umberto Eco. Dengan latar kekatolikan abad ke-13, kita menemukan di dalamnya usaha berlelah-lelah dari Wiliam Barskeville, seorang Fransiskan Inggris dari tradisi intelektual Oxford yang empiris, bersama muridnya Adso – seorang novis muda- untuk membongkar kejahatan di Melk, Biara Benediktin.
Dalam keadaan sulit menentukan siapa dalang di balik kasus yang terjadi, Wiliam malahan mendapati aneka pembunuhan lain, bahkan perseteruan yang menjadi ciri khas Abad Pertengahan: pembinasaan orang yang dianggap sesat-bidaah.
Berturut-turut setiap hari, mereka dikejutkan dengan penemuan mayat. Wiliam dianggap gagal. Tetapi justru, ketika di luar biara, para petugas inkuisisi dengan bangga membakar bidaah, di dalam Aedificium pada hari ke tujuh, Wiliam dan Adso menemukan racun buku misterius, secretum finis Africae. William menang dan ia berhasil menghubungkan berbagai peristiwa dan orang yang ia curigai sebagai dalang pembunuhan dan sebab-musababnya.
Begitulah alur cerita novel itu: pemeran utama yang baik selalu menghadapi banyak persoalan dan bersusah payah menemukan, membongkar, dan melawan kejahatan, tetapi toh akhirnya dia berhasil. Aneka film dan sinetron pun sering bergerak dengan alur macam demikian. Tentu karena dunia manusia dan medan sejarahnya sendiri berisi pertempuran antara yang jahat dan yang baik, antara kekuatan gelap dan kekuatan terang.
Di tengah pertempuran yang masih tetap membayangi manusia, kita berharap bahwa keadaan ini nanti akan berakhir. Suatu saat, yang gelap dan yang terang akan terpisahkan. Dan untuk sampai ke saat itu, kita akan melewati proses yang tidak mudah, sering kali terlihat gagal dan melelahkan. Tetapi agar menang dibutuhkan ketenangan dan kesetiaan; suatu sikap hati-hati, sifat tidak tergesa-gesa.
Dalam Injil hari ini (Mat. 13:24-43), sikap demikian itu ditunjukkan dengan jelas oleh pemilik ladang. Saat para penggarap ladang (“hamba-hamba”) memberi tahu kepada pemilik bahwa ada lalang tumbuh di ladangnya – padahal sang pemilik hanya menabur benih baik, yakni benih gandum – yang empunya ladang tetap tenang. Ia menyadari apa yang terjadi: ada lawan yang menabur lalang.
Para penggarap ladang mau segera mencabuti lalangnya. Tetapi, pemilik mencegah. Rupanya, tidak hanya karena pemilik tahu akan ‘perseteruan antara lalang dan gandum’, tetapi terutama karena ia mau menyadarkan para penggarapnya agar tidak terjerumus ikut bermain dengan musuh pengganggu tanpa sadar, justru karena tidak hati-hati.
Dengan itu, kita sebagai orang beriman diingatkan bahwa dalam diri kita, dalam dunia kita, komunitas kita, Gereja kita, Negara kita akan selalu ada kejahatan, keburukan dan kegelapan. Di tengah situasi seperti itu, tugas kita ialah dengan penuh ketenangan belajar mengenali gerak-gerik roh baik dan roh jahat. Kita diingatkan oleh Yesus untuk tahu membedakan yang baik dari yang buruk.
Kita tidak diminta Yesus untuk memandang diri sebagai pendekar pemberantas kejahatan, sebagai orang yang berhak mengatakan yang lain sesat, jahat, bidaah apalagi dengan gegabah menghukumnya. Kita hanya diminta oleh Tuhan untuk semakin menjadi diri sendiri: dengan penuh hati-hati memeriksa diri dan berusaha menjadi benih yang baik, menjadi anak-anak kerajaan.
Tapi ada masalah. Ajakan itu, seraya mengakui usaha untuk tidak sok menjadi pahlawan, malah seolah-olah mengizinkan sikap acuh tak acuh terhadap kejahatan. Seakan-akan kejahatan dibiarkan tetap ada, sebab memang sudah selalu ada dan toh pada ujung dunia akan hilang. Tentu saja bukan. Bukan begitu yang dikehendaki Tuhan.
Ia mengajarkan agar di setiap usaha kita untuk menghadirkan kerajaan Allah, kita mesti mampu membedakan terlebih dahulu roh yang bekerja dalam usaha kita: “Apakah roh baik atau malahan roh jahat, benih gandum atau benih lalang yang bekerja?” Sehingga kita mampu pelan tetapi pasti, tak kelihatan tetapi mantap, mampu meresapkan daya Kerajaan Surga itu ke mana saja seperti cara kerja biji sesawi dan ragi (Mat. 13: 32-33).
Lagi pula, kita mesti ingat bahwa sungguh tidak bijaksana bila orang berupaya meniadakan yang jahat begitu saja dengan kekuatan sendiri, tanpa melibatkan Yang Ilahi. Sebab, lagi, bisa saja terkecoh: menganggap berbuat baik, malah yang terjadi sebaliknya. Tugas kitalah untuk selalu membawa setiap perkara dan persoalan kepada pemiliknya: Anak Manusia. Dia yang memiliki kuasa Ilahi itu akan datang menerangi kita dengan kuasa surgawi.
Syaratnya: “Siapa yang bertelinga, hendaklah ia mendengarkan” (Mat. 13:43). Mendengarkan kehendak Allah dalam ketenangan, kesetiaan, dan tidak tergesa-gesa!
Penulis adalah imam Fransiskan, melayani umat di Meratus, Kalimantan Selatan
Komentar