Oleh: MAXI ALI PERAJAKA
Ada sebuah kisah beberapa tahun lalu yang kembali muncul di benakku menjelang Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2020. Saya masih ingat, hari itu adalah Rabu, 22 Juli. Saya menemani putriku, Rachel (4,8) menapakkan kakinya di sebuah Taman Kanak-kanak (TK) Katolik di wilayah Jakarta Selatan. Meski agak canggung, terlihat betapa mata Rachel berbinar-binar, senang mengikuti rangkaian acara ‘perkenalan’ yang digelar para ibu guru.
Terus terang, perasaan si putri kala itu agak berseberangan dengan perasaan kami orangtuanya. Pasalnya, ketika memutuskan Rachel masuk TK Katolik, maka konsekuensinya jelas: kami harus merogoh kocek lebih dalam lagi.
Sebenarnya, sebelum mencapai keputusan tersebut, kami sekeluarga ‘berdiskusi’ soal kemungkinan membawa Rachel ke TK non-Katolik. Dua putri kami yang lain tampaknya maklum soal alternatif bagi sang adik. Soalnya, mereka sendiri merasakan bahwa pendidikan di Sekolah Katolik yang mereka jalani sejauh menguras biaya besar.
Namun, rencana itu batal karena si Rachel kecil malah merengek sambil berkata bahwa ia tidak mau sekolah jika sekolah di sekolan non-Katolik. “Biar aku main di rumah saja. Aku hanya mau di sekolah tempat kakak (sekolah Katolik). Kita ‘kan orang Gereja?” Kata-kata Rachel membuyarkan seluruh pertimbangan kami sekeluarga. Maka, jadilah Rachel menuruti jejak kakak-kakaknya, belajar di sekolah Katolik.
Pada waktu hampir bersamaan, kami mendapat sharing dari sebuah keluarga, yang tinggal di lingkungan tetangga. Mereka menceritakan pengalaman Rio, putra mereka. Rio memang terlahir dengan kelainan pada kakinya. Setelah tamat dari sebuah TK Katolik, orang tua menghendaki agar Rio belajar di SD Katolik, dekat rumahnya.
Namun, Sekolah Katolik itu menolak Rio karena kondisi fisiknya yang tak ‘normal’. Dengan rasa kecewa orang tua Rio mendaftarkannya di sekolah lain. Syukurlah Rio ternyata diterima dengan tangan terbuka oleh sebuah SD yang dikelola sebuah Yayasan Islam.
Dua cerita kecil di atas memberikan kesan yang kontradiktoris tentang jati diri, misi dan tujuan Lembaga Pendidikan Katolik. Cerita pertama mengesankan bahwa Sekolah Katolik merupakan tempat yang cocok bagi generasi muda untuk mendalami iman dan iptek dalam perspektif Katolik. Tapi cerita kedua memberi kesan negatif bahwa sekolah/kampus Katolik cenderung hipokrit: memilki visi Kristiani tapi seringkali berperilaku sebaliknya: tak berbela rasa bahkan diskriminatif.
Lalu, apa jati diri Lembaga Pendidikan Katolik? Apa pula misi dan tujuannya? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan buku Education in Catholic Perspective (2013).
Selaku kontributor sekaligus editor buku tersebut, A Stepthen J. McKinney dan John Sullivan mengungkapkan bahwa, deskripsi tentang ‘jati diri’ sekolah/kampus Katolik harus diwali dengan membedakan ‘pendidikan katolik’ dengan ‘pendidikan di sekolah/kampus Katolik’. Yang pertama lebih luas maknanya karena mencakup pendidikan di dalam keluarga Katolik, di sekolah/kampus Katolik dan katekese serta berbagai latihan rohani yang diselenggarakan melalui berbagai kelompok kategorial gerejani seperti OMK, Legio Mariae dan lain-lain.
Tiga Aspek Utama
McKinney dan John Sullivan berpendapat bahwa jati diri sekolah/kampus Katolik terbentuk oleh tiga aspek yaitu: landasan teologis, dimensi eklesial dan sosial, serta misi praktis yang selaras dengan misi Gereja Katolik. Menurut Sullivan, aspek-aspek tersebut dapat digali dari kekayaan dan keanekaragaman intelektual Gereja Katolik yang diwariskan oleh para filsuf, teolog dan pujangga Katolik sepanjang sejarah Gereja.
Pemikir besar Gereja, St. Agustinus misalnya mengemukakan bahwa manusia merupakan pusat dari kegiatan pendidikan. Oleh karena manusia diciptakan atas dasar cinta kasih dan dengan tujuan menjawabi panggilan cinta kasih Ilahi, maka tak bisa tidak, cinta kasih harus menjadi basis dari kegiatan pendidikan.
Merujuk ke pendapat tersebut, mereka mengemukakan bahwa aspek pertama yang menentukan sebuah sekolah/kampus pantas menyandang label Katolik adalah memiliki landasan teologis: cinta kasih. Artinya, sekolah/kampus Katolik harus berlandaskan cinta kasih yang bersumber dari Sabda dan perbuatan Yesus sendiri. Injil memberi kesaksian bahwa Yesus adalah guru yang senantiasa mengajar tentang cinta kasih sebagai hukum yang utama. Ia membuka wawasan para muridNya melalui pendekatan personal dan kontekstual (memakai perumpamaan). Ia juga melayani dengan memberikan teladan: membasuh kaki para murid-Nya. Bahkan Ia mencintai para murid-Nya secara total hingga wafat di kayu salib.
Kedua, jati diri sekolah/kampus Katolik terpatri apabila ia memancarkan dimensi gerejani dan sosial sekaligus. Itu berarti, sekolah/kampus Katolik harus memposisikan diri sebagai bagian dari Gereja dan dunia sekaligus. Ia berkewajiban mendorong para peserta didik untuk menjadi warga Gereja dan warga komunitas yang aktif mendayagunakan bakat dan kompetensi yang dimiliknya untuk memurnikan Gereja dan memembangun dunia yang lebih manusiawi.
Ketiga, sekolah/kampus Katolik harus mengambil bagian secara praktis dalam misi dan pelayanan Gereja: menyelamatkan umat manusia.
Menurut Paus Benediktus XVI, misi utama Lembaga Pendidikan Katolik adalah memberi peluang bagi peserta didik untuk mengalami Allah yang hidup dan yang menyatakan cinta dan kebenaran-Nya dalam dan melalui Yesus Kristus.
Untuk mewujudkan misi tersebut sekolah/kampus Katolik harus memiliki tiga tujuan pokok yaitu 1) menyediakan iklim di mana peserta didik dapat membangun dan memperdalam relasinya dengan Allah; 2) memperkuat budaya akademik agar peserta didik dapat mengenali kebenaran; dan 3) mendorong peserta didik agar terus bertumbuh dalam kebajikan sehingga dapat membaharui dunia.
(Blended) Online Learning
Pandemi global Covid-19 saat ini memaksa sekolah/kampus untuk beralih dari penyelenggaraan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) berbasis interaksi/komunikasi tatap muka ke interaksi/komunikasi secara online. Tentu saja, kita berharap bahwa setelah pandemi berlalu, kegiatan KBM kembali berlangsung secara tatap muka.
Namun, tak sedikit yang menduga, pasca-pandemi Covid-19, kebanyakan sekolah akan mengembangan sistem belajar online, atau paling tidak kombinasi antara tatap muka dan online (blended online).
Jika tren ke depan seperti itu, bagaimanakah Lembaga Pendidikan Katolik membangun jatidirinya? Bagaimanakah cara sekolah/kampus membudayakan nilai cinta kasih di dalam kehidupan para peserta didiknya? Bagaimana cara membiasakan para peserta didik untuk berpartisipasi dalam kehidupan menggereja dan berkomunitas serta ikut membaharui dunia? Bagaimana pula cara membiasakan peserta didik ikut dalam karya pelayanan Gereja menyelematkan umat manusia dan dunia?
Beberapa pertanyaan di atas tentu tidak mudah dijawab secara segera. Namun, bagaimanapun juga, pertanyaan-pertanayaan itu harus dijawab secara tuntas agar Lembaga Pendidikan Katolik tidak sampai ‘ketinggalan kereta kemajuan.’
Tentu saja, sekarang kita belum punya gambaran yang jelas, bagaimana langkah terbaik yang akan diambil Lembaga Pendidikan pasca-pandemi Covid-19 dan pada masa di depannya.
Namun, seperti apa pun langkah itu, rambu-rambunya sudah jelas, yaitu, bahwa sekolah/kampus disebut Lembaga Pendidikan Katolik bukan karena mereka didirikan dan dikelola oleh orang Katolik, bukan pula karena mereka menggunakan nama orang Kudus sebagai pelindungnya atau sekadar embel-embel biar tampak keren, juga bukan karena mereka mematok harga mahal, memiliki fasilitas yang mewah dan memberlakukan disiplin yang ketat.
Sekolah/kampus disebut Lembaga Pendidikan Katolik karena mereka menjadikan Yesus Kristus sebagai basis, pusat dan model pelayanannya sehingga para peserta didik bertumbuh menjadi citra diri Allah yang aktif membarui dunia.
Maxi A. Perajaka adalah pendidik di Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen, Saint Mary, Jakarta. Email maxperajaka@gmail.com
Komentar