Katoliknews.com – Memimpin Misa Pontifikal Minggu Paskah, 12 April 2020, Ignatius Kardinal Suharyo dalam khotbahnya menyinggung soal pandemi virus corona (Covid-19), yang ia sebut sebagai akibat dari dosa ekologis.
Mengakui bahwa tentu saja banyak pendapat yang diajukan sebagai pemicu pandemi ini, tetapi, kata dia, pendapat yang mengaitkannya dengan dosa ekologis adalah “pendapat yang masuk akal dan sesuai dengan iman.”
“Bisa jadi wabah adalah reaksi natural atas kesalahan manusia secara kolektif terhadap alam. Dalam bahasa iman, wabah antara lain disebabkan oleh dosa ekologis,” kata Kardinal dalam Misa di Gereja Katedral Jakarta dan disiarkan langsung lewat TVRI.
“Yang dimaksudkan kira-kira begini; karena manusia telah merusak tatanan dan harmoni alam, perusakan alam itu membuat alam tidak seimbang lagi dan ini mempunyai akibat yang sangat luas dan beragam, misalnya pemanasan bumi, perubahan iklim, polusi yang mengotori semua elemen alam di darat, di laut, di udara dan munculnya berbagai penyakit baru,” tambahnya.
Ketidakseimbangan ini, jelas dia, membuat tubuh manusia tidak seimbang pula, imunitas lemah sehingga manusia menjadi rentan terhadap wabah.
“Seharusnya, alam memiliki caranya sendiri untuk meredam wabah, tetapi ketika nafsu, keserakahan dan kesombongan manusia telah merusak alam, wabah tidak terbendung,” katanya.
Ia juga mengutip kata-kata Paus Fransiskus yang menyebut, “dengan keserakahannya manusia mau menggantikan tempat Allah dan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam.”
“Kita semua terlibat di dalam dosa terhadap harmoni alam yang telah diciptakan oleh Allah sebagai semua baik dan amat baik adanya. Itulah yang disebut sekali lagi dosa ekologis,” kata Kardinal.
“Wabah menurut pendapat ini adalah isyarat alamiah bahwa manusia telah mengingkari jati dirinya sebagai citra Allah yang bertugas untuk menjaga harmoni alam, bukan merusaknya,” tambahnya.
Wabah, menurut dia, menyadarkan bahwa manusia adalah ciptaan yang rapuh yang tidak mungkin bertahan jika ciptaan lainnya dihancurkan.
Ia menambahkan, di tengah situasi sulit saat ini, kita masih tetap bersyukur karena menyaksikan kerelaan berkorban, solidaritas yang dahsyat dalam berbagai macam bentuknya.
“Dalam bahasa iman tumbuhnya kerelaan berkorban, tumbuhnya solidaritas adalah Paskah yang nyata. Semoga semua yang baik tidak berhenti ketika nanti wabah ini lewat, tetapi kita masih berharp dan bahkan dituntut untuk merayakan Paskah yang lain yakni paskah ekologis,” katanya.
“Ketika kita dibebaskan dari dosa ekologi maupun pribadi, dibebaskan dari sikap tidak peduli terhadap alam atau bahkan nafsu merusak alam, dianugerahkan kepada kita kekuatan untuk terus mewujudkan Paskah Ekologis itu,” tambahnya,
Hingga hari ini, jumlah penduduk bumi yang positif covid-19 sudah mencapai 1,7 juta.
Dari jumlah itu, 109 ribu orang meninggal, 404.031 sembuh. Sekitar 50.592 adalah pasien covid-19 dalam kondisi kritis dan 1,2 juta dalam kondisi ringan.
Sementara di Indonesia, jumlah kasus positif 4.241, dengan korban meninggal 373 orang.
Dengan jumlah penduduk 270 juta di wilayah kepulauan yang luas penyebaran covid-19 di Indonesia tergolong cepat.
Oleh karena itu, sejak pekan kedua Maret 2020, pemerintah mengimbau masyarakat menjaga jarak dan mulai pekan kedua April, DKI Jakarta memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna memutus mata rantai penularan corona.
PSBB juga segera diterapkan oleh Provinsi Jawa Barat dan Banten.
Sesuai arahan pemerintah untuk menjaga jarak fisik, sejak pertengahan Maret 2020, sekolah diliburkan, pekerjaan dilakukan dari rumah, dan beribadah di rumah.
Bagi umat Kristiani, situasi ini memaksa Misa dan Ibadat selam Pekan Suci dilakukan lewat siaran langsung, baik melalui Youtube maupun televisi.
Komentar