Oleh: Markus Marlon MSC
Your time is limited. Don’t waste it by living someone else’s life (Steve Jobs).
Pernah suatu kali saya singgah di rumah seorang tetangga yang jarang srawung (=bergaul) dengan tetangganya.
Ia mengatakan hal ini, “Untuk apa bergaul dengan para tetangga, toh jika ada masalah, saya sendiri yang harus berusaha.”
Pernyataan seperti di atas sering kita dengar. Ia tampaknya tidak meyakini apa yang ditulis Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam refleksinya yang berjudul, “Neighbor”, bahwa jika seseorang menceriterakan kesusahannya kepada orang lain, maka sesungguhnya ia sudah diringankan.
Memang, ada orang yang tidak pernah mau “sibuk” bagi orang lain, lebih memilih untuk hanya sibuk dengan diri sendiri.
Orang sulit untuk “memberi” sesuatu kepada orang lain. Jika kemudian memberi, dalam dirinya ada sikap “do ut des” – memberi supaya diberi. Atau dalam bahasa kita terungkap dalam kata-kata, “Ada udang di balik batu!”.
Baiklah kita berefleksi tentang orang-orang yang sering bertanya kepada kita, tatkala dalam perjalanan.
Orang-orang yang sedang dalam perjalanan tentu ingin sampai tujuan. Tetapi, terkadang mereka mendapat kendala yakni tidak tahu arah jalan yang benar.
“Malu bertanya sesat di jalan” adalah ungkapan yang sering kita dengar. Arahan kita kepada orang yang sedang membutuhkan bagaikan setitik hujan di musim kemarau panjang.
Namun, bagi masyarakat Israel pada zaman dulu, amat penting membantu orang dalam peziarahan. Apabila ada orang asing menanyakan letak suatu desa, mereka wajib menunjukkan jalan dan menghantar dia sejauh satu mil dan selama dalam perjalanan itu, mereka bertanggung jawab atas keselamatan yang dihantar.
Itulah sebabnya, Yesus mengajak orang-orang untuk “memberi lebih daripada yang diminta”. Sabda-Nya, “Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil” (Mat 5: 41).
Sibuk dengan orang lain itu berarti dirinya care terhadap orang lain. Dan ini ternyata bisa “dilatih” sejak masa kanak-kanak.
Seorang sastrawan Inggris bernama Thomas Carlyle (1795 – 1881) memberitahukan bagaimana ketika ia masih kanak-kanak ada seorang pengemis datang ke muka pintu. Kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah dan hanya dia sendirian.
Dengan dorongan sebagai seorang anak kecil, ia memecahkan tabungan miliknya dan kemudian memberikan semua uang yang ada kepada pengemis tadi.
Dan setelah itu dia mengatakan bahwa dirinya tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti yang dialami saat itu. Sesungguhnya ada sukacita ketika kita memberi.
Sibuk dengan orang lain juga berarti kita rela melayani apa yang diminta. Dalam hal ini, kita bagaikan “siap sedia” melayani orang lain (Bdk. Luk 12: 35 – 40).
Dalam budaya yang berlaku pada zaman Yesus, seorang pelayan terutama berfungsi ketika majikannya sedang makan.
Dalam budaya itu, orang makan sambil setengah berbaring dengan satu tangan menahan kepala, sehingga sulit untuk mengambil sesuatu.
Karena itu, pelayan berdiri di situ untuk memerhatikan apa kebutuhan sang majikan, lalu cepat mengambil sesuatu. Menjadi pelayan berarti berani sibuk bagi orang lain.
Hal yang sama juga dilakukan Paulus. Ia selalu sibuk membantu orang lain. Ia sebenarnya memunyai 1001 alasan untuk mengeluh dan meratapi diri. Tetapi ternyata sebaliknya. Ia tidak minta diberi perhatian, tetapi malah memberi perhatian kepada banyak orang.
Ia sengsara namun merasa berbahagia karena bisa berbuat sesuatu untuk orang lain.
Dan, cara yang dipakai Paulus untuk memberi perhatian adalah berkirim surat. Ia menulis banyak surat kepada teman dan handai-taulan.
Ada surat yang pendek, ada juga yang panjang. Ia sibuk berpikir lalu dengan mata yang kurang awas, ia menulis pikirannya dalam surat.
Ia sibuk memikirkan orang lain. Dalam suratnya ia menghibur dan menguatkan orang lain.
Memang, orang-orang kudus itu adalah mereka yang berani mati demi membela orang lain (martyr). Mereka merasa puas dengan pelayanannya dan kalau bisa memberi pengajaran kepada orang banyak dengan memberi teladan. Inilah juga yang dibuat Mother Teresa dari Calcutta (1910 – 1997).
Kristus, saat rasa lapar mendera, datangkan padaku orang yang butuh makanan.
Saat duka menghimpitku, kirimkan padaku teman yang perlu dihibur.
Saat salibku terasa makin berat, izinkan aku memikul salib orang lain pula.
Saat hanya diriku yang kupikirkan, bahwa pikiranku pada penderitaan orang lain.
Sabtu, 6 Agustus 2016
Komentar