Katoliknews.com – Ia menyebut perjalanan hidupnya rumit dan penuh tantangan. Namun, ia terus melangkah, mengikuti panggilan sang Ilahi.
Namanya, Gusti Agustino Horowura alias Gucek. Ia adalah salah satu dari 12 diakon yang turut ditahbiskan di Ledalero, Sikka-Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Kamis, 2 Juni lalu.
Acara tahbisannya kala itu menghadirkan sebuah pemandangan indah. Saat Misa, tampak sejumlah ibu-ibu berjilbab turut khusuk mendoakannya.
Mereka adalah keluarga Diakon Gucek dari garis keturunan ibunya, Monika Siti Sulaiman, yang sudah lama terpisah dari keluarga besarnya.
Diakon Gucek mengatakan, perpisahan yang terjadi sejak puluhan tahun lalu itu dipicu oleh perbedaan keyakinan.
“Ibu saya dilahirkan dari keluarga Muslim yang sangat taat. Ayahnya adalah seorang imam masjid yang sangat disegani,” katanya kepada Katoliknews.com.
Namun, kisahnya, saat ibunya bertemu dengan ayahnya Yohanes Benediktus Horowura, yang lahir dari keluarga Katolik, mulai terjadi pertentangan dalam keluarga besar ibu.
“Mereka tidak menyetujui hubungan bapak dan ibu karena perbedaan keyakinan.”
Namun, perbedaan keyakinan itu kemudian gagal menghalangi jalinan cinta ayah dan ibunya. Mereka kemudian tetap menikah.
Setelah Gucek lahir dan menginjak usia dua tahun, keluarganya masih tinggal di Kampung Postoh bersama keluarga besar ibunya.
“Saat itu, saya pun menggunakan nama seorang Muslim.”
Namun, konflik hebat mulai terjadi, usai bapak dan ibunya – melalui sebuah diskusi panjang – akhirnya memutuskan agar semua anggota keluarga menjadi Katolik.
“Keputusan itu yang kemudian membuat kami akhirnya harus terpisah jauh dari keluarga besar ibu.”
Sejak saat itu, “kami pun harus beranjak lalu hijrah ke daerah Waiwadan, Adonara Barat dan tidak pernah lagi kembali.”
“Ibu pun hidup sendiri bertahun-tahun tanpa pernah kembali ke keluarganya, hingga kami empat anaknya, tak ada satu pun yang mengenal keluarga ibu,” ujarnya.
Setelah melewati waktu puluhan tahun, kisah panjang tersebut pun berbalik.
Menurut Diakon Gucek, hal itu bermula sejak ia memiliki kerinduan untuk menemui mereka kembali, agar turut hadir dan mendoakannya dalam menapaki panggilan Tuhan menjadi imam.
“Menjelang tabhisan Diakon beberapa waktu lalu, saya berniat mencari tahu tentang keluarga ibu, lalu saya beranikan diri untuk kembali ke rumah saudara-saudara di kampung Postoh.”
Tak pernah disangka, kata dia, dalam kunjungan itu, ternyata ia disambut dengan sangat baik oleh keluarga besar. Baginya, kejadian itu merupakan sesuatu yang sangat mengharukan.
Ia pun lalu bersilaturahmi dengan sanak keluarga yang lain, hingga akhirnya menceritakan semua kisah hidup keluarga, sejak meninggalkan Postoh dulu.
Usai menceritakan semua itu, dengan penuh rasa harap, Diakon Gucek lalu mengajak mereka, untuk turut menghadiri Misa pentahbisanya menjadi diakon.
“Mereka menyetujui permintaan saya,” katanya.
Dalam Misa pentahbisan waktu itu, ia mengakui bahwa mereka semua turut bahagia dan mendukung panggilannya menjadi imam.
“Kini ibu saya dan keluarga besarnya sudah didamaikan. Bagi saya, kehadiran mereka dalam Misa tabhisan itu adalah sebuah rekonsiliasi besar.”
“Saya merasa terharu dan bahagia. Sudah lama kami terpisah, tapi Tuhan menyatukan kami dengan memilih momen yang sangat tepat,” lanjutnya.
Ia mengaku sangat termotivasi untuk terus menapaki jalan panggilannya. Ia mendapat kekuatan besar dari perdamaian itu.
Diakon Gucek akan bertugas sebagai Diakon di Keuskupan Ende, Flores, NTT. Apabila kelak sudah ditabhiskan menjadi Imam, ia bakal ditempatkan seumur hidup di Brasil Central. Saat ini, ia tengah menunggu Surat Keputusan dari Keuskupan Ende untuk kemudian melangkah ke tempat pelayanannya sebagai Diakon.
Roby Sukur/Katoliknews
Komentar