Katoliknews.com – Romo Frans Amanue Pr, imam di Keuskupan Larantuka-Flores, Nusa Tenggara Timur menghembuskan nafas terakhirnya pada Sabtu, 26 Maret 2016 di RSUD dr. Hendrikus Fernandez Larantuka, saat semua umat Katolik dalam suasana Tri Hari Suci. Imam itu meninggal dalam usia 71 tahun.
Romo Frans memiliki riwayat sakit, di mana sebelum Jumat Agung, ia sempat dirawat di Klinik Lebao, Larantuka dan kemudian dirujuk ke RSUD dr Hendrikus Fernandez.
Pada Kamis Putih, Romo Frans masih mengikuti Perayaan Ekaristi di Gereja Sanjuan Lebao, dan Jumat Agung pagi mengikuti prosesi laut Semana Santa, namun tidak sampai selesai.
Dari situ Romo mengeluh badan lemas dan napas sesak. Atas keluhan tersebut, Sabtu pagi sekitar jam 05.00 Romo dilarikan ke rumah sakit dan mendapat perawatan di UGD.
Namun siangnya, sekitar pukul 12.30, Romo meninggal. Rencananya Romo Frans akan dimakamkan pada Selasa esok.
Imam ini dikenal sebagai imam yang kritis dan dalam berbagai kesempatan ia dengan berani mengkritik penguasa.
Pada 2003, misalnya ia pernah terlibat masalah dengan Bupati Flores Timur kala itu, Felix Fernandez, karena menuding bupati tak berpihak kepada rakyat.
Romo Frasns menilai kebijakan pembangunan Felix lebih bersifat mercu suar, misalnya dalam pembelian kapal feri cepat Andhika Mitra Express. Kapal itu dibeli seharga Rp 3,497 miliar. Padahal dalam akta pembelian, kapal itu dibuat 1996 dan dijual seharga Rp 150 juta. Kini, kapal itu juga dalam kondisi rusak.
Frans juga mengkritik pembelian beberapa bidang tanah, pengadaan traffic light, dan proyek air bersih. Yang lebih fantastis, permohonan dana bantuan sebesar Rp 199 miliar ke pusat untuk penanganan bencana banjir bandang di Larantuka, April silam. Padahal, Pemerintah Provinsi NTT hanya mengajukan Rp 123 miliar. Semua proyek itu dinilai Frans terlalu mengada-ada dan sudah digelembungkan oleh Bupati Felix.
Karena itulah, Felix menggugat Frans ke Pengadilan Negeri Larantuka dengan tuduhan mencemarkan nama baik. Hasilnya, pengadilan memvonis Frans bersalah dengan hukuman kurungan dua bulan dan hukuman percobaan lima bulan. Namun, Frans dinyatakan tak perlu masuk penjara dengan alasan masyarakat butuh imam. Vonis itulah yang memicu kerusuhan, di mana massa yang mengikuti proses sidang marah dan membakar Kantor Pengadilan dan Kejaksaan Larantuka.
Sementara pada akhir-akhir ini, mulai sekitar tahun 2015, imam itu juga membantu melakukan advokasi kasus kematian Laurens Wadu, warga Lembata. Banyak pihak yang menuding bahwa ada “orang kuat” di balik kasus kematian Laurens yang dibunuh dan kemudian mayatnya ditemukan di kebun.
Romo Frans sangat aktif dalam perjuangan mengungkap pelaku dan dalang pembunuhan ini.
Philipus Bediona, anggota DPRD Kabupaten Lembata yang juga ikut berjuang bersama Romo Frans mengatakan, ia sangat kehilangan dengan kepergian imam itu.
“Ketika kasus kematian Laurens Wadu, engkau hadir sebagai imam di tengah keluarga berduka dan berjuang bersama masyarakat pencari kebenaran dan keadilan,” katanya.
Philipus juga menyinggung perhatian Romo Frans saat dirinya bersama anggota DPRD lain ditahan polisi.
“Ketika kami berdua (bersama) Feri Koban ditahan di Polres Lembata, menjalani masa persidangan hingga mendekati 9 bulan, engkau juga selalu hadir pada momen di mana kehadiranmu terasa begitu berarti,” katanya.
Philipus menambahkan, “pastoralmu, pastoral kebenaran dan keadilan. Terima kasihku untukmu. Selamat jalan Tuan. Engkau keras dalam prinsip, tapi lembut dan penuh pengertian dalam cara.”
Yosep/Sergap NTT/Katoliknews
Komentar