Oleh: Charles Talu OFM
Relasi para gembala dengan domba sejatinya seperti yang disabdakan Yesus, “Akulah gembala yang baik. Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku” (Yoh, 10:14). Gembala dan domba saling mengenal satu sama lain.
Mengenal tentu bukan secara artifisial saja, tetapi benar-benar mengenal setiap bentuk kehidupan para domba. Duka, kecemasan, kegembiraan dan harapan para domba juga dikenal atau diketahui bahkan harus dirasakan oleh gembalanya.
Banyak kisah miris dimana umat merasakan ketidakhadiran para gembala dalam kehidupan mereka. Para gembala lebih sibuk dengan urusannya sendiri atau keluarganya.
Para gembala kadang-kadang juga lebih berpihak pada orang atau kelompok tertentu dan “menjauhi” umatnya yang lain yang dari padanya tidak diperoleh keuntungan. Begitu keluh kesah beberapa umat.
Tetapi. kita tidak perlu terlalu bersusah hati dengan keluh kesah itu, karena di tempat lain juga banyak gembala yang benar-benar hadir bagi umatnya.
Fransiskan Suriah
Pahit dan perihnya peperangan terus saja dialami oleh orang-orang yang tinggal di wilayah konflik, salah satunya di Suriah.
Konflik yang berkepanjangan menimbulkan ketidakpastian, kecemasan, ketakutan dan bahkan banyak orang yang telah pergi dari tanah kelahirannya untuk mencari perlindungan.
Banyak orang yang pergi tetapi masih ada juga yang tinggal bertahan dalam ketidakpastian. Ribuan orang Kristen Suriah perlahan-lahan juga harus pergi. Bertahan dan tetap tinggal di sana adalah perjudian dan penantian akan kematian.
“Masih ada segelintir orang-orang Kristen di Suriah yang kini sedang ‘diperebutkan’ oleh para jihadis, pemerintah Suriah dan sekutunya Rusia dan kaum Syiah. Mereka yang miskin, tua dan lemah, tetapi ada!” demikian informasi dari para Fransiskan dari Kustodi Tanah Suci, yang meliputi juga daerah Suriah.
“Mereka tinggal di desa Knayeh, Yacoubieh dan Jdeideh, dan sejumlah desa lain Lembah Orontes, di mana sekitar empat ratus orang Kristen hidup, berdoa dan menghadiri perayaan Ekaristi yang dirayakan di tiga Paroki Katolik tanpa lonceng, salib dan patung orang kudus (karena telah dihancurkan para islamis militan). Mereka adalah yang terakhir, yang tersisa. Mereka yang tidak bisa meninggalkan desa mereka karena tidak memiliki sarana atau karena usia, tak mampu melarikan diri ke tempat lain. Dan dua orang saudara Fransiskan yang hingga kini tinggal bersama mereka adalah satu-satunya representasi kehadiran kekristenan di tanah di mana kini diberlakukan hukum Islam oleh para milisi jihad,” demikian lanjutan tulisan tersebut.
Keputusan Sulit
Para Fransiskan diajak untuk ber-discerment dalam mengambil keputusan, apakah tetap melanjutkan karya di daerah berbahaya dan tidak menguntungkan ini, karena hanya tinggal segelintir umat.
Semua saudara akhirnya memutuskan untuk tetap melanjutkan karya itu berdasarkan kharisma St. Fransiskus dari Assisi yang mereka ikuti.
Apalagi, pengalaman telah berbicara, di mana salah seorang Saudara Fransiskan Pater Dhiya Azziz OFM, pernah diculik selama 12 hari meski kemudian dibebaskan kembali.
Pater Kustos Tanah Suci Pierbattista Pizzaballa OFM mengatakan, “Seorang gembala tidak akan meninggalkan umatnya, dan tidak perlu memperhitungkan banyak atau sedikit dombanya, tua atau muda. Untuk seorang gembala, semua domba menjadi penting dan patut dicintai dengan cara yang sama.”
Dalam semangat ini, Kustodi Tanah Suci mengumumkan bahwa untuk desa Yacoubieh, untuk menggantikan Padre Dhiya, akan tiba dari Bethlehem, Padre Louay Bhsarat, Fransiskan muda dari Yordania yang telah menyediakan diri untuk bermisi ke Suriah “sampai titik darah penghabisan”, lanjut Pater Kustos.
Menjaga Domba
Dalam situasi sulit, para gembala kadang takut mengambil resiko, lebih baik mencari titik aman dan melihat dari jauh persoalan. Lebih nyaman tinggal di pastoran atau biara daripada pergi mengulurkan tangan dan berjumpa dengan umat serta mencicipi sedikit penderitaan mereka.
Paus Fransiskus dengan tegas meminta Gereja untuk menjadi Gereja orang miskin. Dan, dia bahkan menghendaki Gereja yang kotor dan berbau karena masuk dalam persoalan nyata umat.
Panggilan dari setiap orang Katolik dan secara khusus untuk para gembala adalah berani untuk kotor dan bau karena berjumpa dengan umatnya.
Gembala yang berbau domba berarti gembala yang berani mencium bau dan bahkan menjadi bau karena mengalami kesusahan, kepedihan dan penderitaan umatnya, bahkan sampai pada titik yang paling ekstrem.
Banyak gembala kita patut diapresiasi dan didoakan karena telah berani mengenal domba-dombanya hingga akhirnya mereka juga berani mengambil resiko, siap menderita demi dan bersama umatnya.
Penulis adalah calon imam Fransiskan
Komentar