Oleh: Frans de Sales SCJ
Ketika ada sesama Anda yang mengalami kegalauan dalam hidupnya, apa reaksi Anda? Anda biarkan saja atau Anda membuka hati dan telinga Anda untuk mendengarkan keluh kesahnya?
Seorang anak merasa galau dalam hidupnya. Soalnya adalah kedua orangtuanya menganggap remeh terhadap dirinya. Padahal ia adalah anak kandung kedua orangtuanya. Selama hidupnya, ia juga selalu melakukan hal-hal yang terbaik bagi dirinya dan orangtuanya. Karena itu, ia merasa heran mengapa orangtuanya tidak mau mendengarkan dirinya.
Suatu hari, ia meminta kepada ibunya, “Ibu, dengarkan aku sekali ini saja.”
Namun tidak ada jawaban yang ia dapatkan. Justru ibunya memarahi dirinya. Ia tidak ingin mengdengarkan suara anaknya. Anak itu menjadi semakin galau. Sebagai manusia, ia ingin didengarkan. Ia bukan sekedar sebuah patung. Ia seorang manusia yang bermartabat. Ia tidak mau berputus asa.
Ia mendatangi ayahnya. Ia bertanya, “Ayah, ayah mau mendengarkanku kan?”
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut sang ayah. Air mata mengalir dari mata sang anak. Ia telah memohon untuk didengarkan, tetapi tak ada sebuah telinga pun yang terbuka bagi dirinya. Ia bertanya dalam hati, apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia pun termenung, merefleksikan persoalan yang sedang dihadapinya.
Kesimpulan yang ia temukan adalah ia seorang anak yang lemah dan juga selalu gagal dalam banyak hal. Dia sudah melakukan yang terbaik, namun tak kunjung mendapatkan hasil yang baik. Akibatnya, tak seorang pun mau mengakui keberadaannya.
Berada dalam situasi tidak didengarkan merupakan suatu pukulan besar bagi diri seseorang. Orang merasa tidak dimanusiakan. Orang merasa seperti robot atau patung. Orang merasa tak berguna dan juga merasa tersisih. Tidak ada ruang baginya untuk bisa mengungkapkan pendapat.
Kisah di atas memberi kita inspirasi untuk senantisa memasang telinga bagi orang lain. Banyak orang mengalami berbagai persoalan dalam hidupnya. Mendengarkan persoalan mereka berarti kita menerima kehadiran mereka sebagai manusia. Mendengarkan orang lain berarti kita juga menghargai kehadiran mereka.
Orang beriman mesti selalu menyediakan telinganya untuk sesamanya. Telinga yang selalu terbuka berarti juga orang memiliki kepedulian yang besar terhadap sesamanya. Orang tidak hanya membiarkan telinganya dimasuki oleh suara-suara. Lebih dari itu, orang sungguh-sungguh memasang telinganya bagi sesamanya itu. Mengapa? Karena sesama itu bukan sekedar patung atau boneka. Mereka adalah manusia yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi.
Kita mesti ingat bahwa orang yang merasa tidak berguna sering mengakhiri kehidupannya. Mereka berpikir bahwa kematian adalah jalan terbaik, karena orang lain tak lagi menghargai kehadiran mereka. Untuk itu, memasang telinga sejenak saja untuk sesama kita akan sangat berguna dan berharga. Pertama-tama, kita menyelamatkan sesama itu dari kematian. Kedua, kita memberikan rasa optimis baginya dalam menjalani hidup ini.
Mari kita tetap memasang telinga bagi sesama yang sedang berada dalam kegalauan hidupnya.
Dengan demikian, kita dapat menyelamatkan jiwanya. Tuhan memberkati.
Komentar