Oleh: BERCHMANS
Umat Katolik seluruh dunia telah memasuki masa khusus, masa pertobatan. Urapan abu pada dahi hari Rabu lalu menandakan dimulainya masa khusus tersebut. Ucapan “dari abu akan kembali ke abu” mengajak kita merefleksikan lebih mendalam hidup dan dinamika cara beriman. Apa sebenarnya pertobatan itu?
Manusia, dewasa ini, hampir pasti tidak terlepas dari persoalan relasi; baik dengan sesama manusia maupun ciptaan yang lain. Kenyataan hidup manusia selalu berada dalam relasi tidak dapat dielakkan. Tidak ada manusia yang benar-benar berdiri dan hidup sendiri. Oleh karena itu, relasi adalah hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian. Dosa, kemudian, ditelisik dari perspektif relasi ini.
Membicarakan pertobatan berarti bersinggungan langsung degan topik dosa. Bertobat ialah berbalik dari situasi berdosa menuju kehidupan yang lebih baik; jauh dari dosa. Gereja tradisional percaya bahwa dosa adalah tindakan manusia melanggar Allah. Pandangan Gereja tradisional ini kemudian mendapat banyak kritikan.
Marjorie Hewitt Suchocki, seorang teolog perempuan asal Amerika, adalah salah satu yang mengkritisi konsep tradisional ini. Menurut Suchocki, susah untuk menemukan tindakan-tindakan manusia yang tampak mata langsung melanggar Allah.
Dalam bukunya yang berjudul “The Fall to Violence: Original Sin in Relational Theology”, Suchocki mengemukakan bahwa persoalan dosa adalah persoalan relasi manusia. Manusia tidak pernah secara kasat mata melawan Allah, namun manusia melanggar sesamanya yang adalah ciptaan Allah. Dosa adalah perkara relasi manusia dengan manusia serta ciptaan lainnya, dimana Allah Pencipta mendapatkan efeknya.
Proses membebaskan diri dari dosa dinamakan metanoia—kosakata bahasa Yunani; jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti berubah pikiran, berbalik arah. Mengubah pikiran lalu kembali mendekatkan diri kepada Allah berarti juga pertama-tama memulihkan relasi dengan sesama.
Kita tak dapat terus menerus tenggelam dalam buruknya relasi dengan sesame, lalu dengan mudah mengklaim telah menjalin relasi baik dengan Allah. Artinya, indikator berbalik arah dari situasi dosa adalah terjaganya keutuhan relasi kita dengan sesama manusia, pun ciptaan yang lain.
Keutuhan relasi atau situasi tanpa dosa dapat dibayangkan melalui kisah etiologis yang diceritakan Kitab Kejadian (Genesis). Kisah yang dimaksudkan di sini ialah kisah di taman Firdaus sebelum Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa.
Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa makhluk yang mendiami taman Firdaus hidup dalam keharmonisa. Mereka berelasi dengan baik; tanpa saling melukai atau merusak. Utuh. Allah melihat semua yang dijadikan-Nya baik adanya.
Kehidupan manusia zaman modern jauh dari kata harmonis. Berbagai macam persoalan bermunculan; bencana perang yang membunuh jutaan jiwa, kerusakan lingkungan hidup yang mengancam kehidupan generasi mendatang, dll.
Manusia dan sesama ciptaan yang lain hidup dalam ketidakseimbangan. Situasi dunia menjadi runyam; penderitaan dan kehilangan harapan berkolaborasi menjadi sebuah nyanyian tragis. Ibarat perempuan yang menderita sakit melahirkan dan ular yang harus memakan debu; tak terhindarkan dan menyakitkan. Banyak orang yang berupaya memulihkan situasi tak seimbang dengan aksi damai yang diselenggarakan secara global.
Kita yang menamakan diri pengikut Kristus, masa tobat disediakan khusus untuk merenung lalu memulihkan kembali masalah relasi yang tak lagi terawat dengan baik. Salah satu cara yang paling dianjurkan Gereja adalah mengaku dosa.
Pengakuan dosa, bagaimanapun, adalah tindakan nyata dari niat untuk membebaskan diri dari situasi berdosa. Membangun niat untuk berbalik arah semestinya diikuti tindakan nyata; yakni mengungkapkannya secara verbal kepada pastor dalam ritual pengakuan dosa.
Dengan cara begitu, berkat pengampunan dari Sang Gembala akan membebaskan kita dari segala macam belenggu dosa dan keluar sebagai pemenang menjadi anak-anak terang. Pernyataan ini melahirkan sangsi; apakah benar kata-kata absolusi Pastor sungguh-sungguh membebaskan?
Yesus telah melukiskan pertobatan itu dengan perumpamaan termasyur “Kisah Anak yang Hilang” (Luk. 15, 11-32). Kisah metaforis ini menunjukkan betapa besarnya kasih Bapa yang senantiasa mengampuni. Dalam perumpamaan anak yang hilang, ada tiga tokoh yang ditonjolkan; Bapa, Anak Sulung, dan anak bungsu. Orang yang melakukan pertobatan dari cerita perumpamaan ini ialah si bungsu. Anak bungsu, biasanya, memiliki karakter yang unik.
Dalam beberapa pengamatan, anak bungsu dominan bersikap ingin menang sendiri, manja, suka menuntut, dll. Anak bungsu menempati posisi inferior dalam struktur anggota keluarga. Dalam ilmu psikologi, orang inferior, yang lemah—fisik maupun mental—cenderung memiliki hasrat tinggi untuk menguasai yang lain.
Adolf Hitler, misalnya. Ia berperawakan pendek. Dunia menulis sejarah tragis pembantaian etnis Yahudi akibat hasrat menguasai Hitler. Ia berhasil menaklukkan inferioritasnya itu. Masih banyak contoh lain yang tak perlu dibahas panjang lebar di sini.
Dalam kisah “Anak yang Hilang” pun demikian; justeru si Bungsu yang menganjurkan agar harta warisan lekas dibagikan. Anjuran si bungsu ini, dalam tradisi patrilineal Yahudi, merupakan tindakan yang melangkahi hak kesulungan.
Ia menunjukkan sikap lebih berkuasa dari si sulung. Setelah itu, bungsu meninggalkan rumah. Dalam konteks kehidupan Yahudi, meninggalkan rumah berarti memutuskan hubungan kekeluargaan di antara mereka.
Setelah lama menderita pasca meninggalkan rumah (karena kehabisan harta warisannya), ia juga memutuskan untuk berbalik ke rumah. Malahan, ayahnya menyambut ia dalam kehangatan dan pesta pora.
Sikap ayah digambarkan sebagai sifat Allah yang ber-welas asih tanpa batas. Perumpamaan Yesus ini ingin menunjukkan satu hal; asalkan ingin kembali, Allah akan menerimamu dalam kebahagiaan.
Bagi kita, yang menyatakan diri sebagai umat beriman, sikap optimis dalam pertobatan sangat diperlukan. Kasih Allah yang tiada batas menjadi jaminan kita untuk membangun niat, berbalik arah, dan bertobat. Dengan bertobat, kita memulihkan relasi dengan sesama. Relasi yang harmonis akan menciptakan kembali keutuhan situasi Firdaus.
Penulis adalah anggota Orang Muda Katolik (OMK) di Jakarta.
Komentar