Oleh: Pastor William P. Saunders
Katoliknews.com Setiap orang Katolik sepatutnya dapat memberikan suatu jawaban yang mantap dan mendalam atas pertanyaan, “Mengapa kamu seorang Katolik?”
Tentu saja, bagi tiap-tiap individu, jawabannya bersifat amat pribadi dan mungkin agak berbeda dari jawaban orang lain.
Saya harap, tak seorang pun dari kita yang telah dewasa akan sekedar menjawab, “Yah, karena orangtua membaptisku Katolik” atau “Aku dibesarkan secara Katolik” atau “Keluargaku semuanya Katolik.” Bukan.
Bagi masing-masing kita, jawabannya haruslah pribadi, dari lubuk hati dan penuh keyakinan.
Saya akan memberikan jawaban saya atas pertanyaan ini.
Pertama-tama, saya akan mengatakan bahwa saya seorang Katolik karena inilah Gereja yang didirikan Yesus Kristus.
Sejarahwan paling ahli sekalipun akan harus mengakui bahwa Gereja Kristen pertama yang ada sejak jaman Kristus adalah Gereja Katolik Roma.
Perpecahan besar pertama dalam kekristenan baru muncul pada tahun 1054, ketika Patriark Konstantinopel berselisih dengan Paus atas siapa yang lebih berwenang; sang Patriark mengekskomunikasi Paus, yang ganti mengekskomunikasi Patriark, dan lahirlah Gereja-gereja “Orthodox”.
Kemudian, pada tahun 1517, Martin Luther memicu gerakan Protestan, dan ia diikuti oleh Calvin, Zwingli dan Henry VIII. Sejak itu, Protestanisme telah terpecah-pecah menjadi banyak Gereja-gereja Kristen lainnya.
Namun demikian, satu-satunya Gereja dan Gereja Kristen pertama yang didirikan Kristus adalah Gereja Katolik. Pernyataan ini tidak berarti bahwa tidak ada kebaikan dalam Gereja-gereja Kristen lainnya. Tidak pula berarti bahwa orang-orang Kristen lainnya tidak dapat masuk surga.
Tetapi, sungguh berarti bahwa ada sesuatu yang istimewa mengenai Gereja Katolik. Konsili Vatican II dalam “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” memaklumkan bahwa kepenuhan dari sarana-sarana keselamatan ada dalam Gereja Katolik sebab inilah Gereja yang didirikan Kristus (No. 8).
Alasan kedua mengapa saya seorang Katolik ialah karena suksesi apostolik. Yesus mempercayakan otoritas-Nya kepada para rasul. Ia memberikan otoritas khusus kepada Petrus, yang disebut-Nya sebagai “batu karang” dan kepada siapa Ia mempercayakan kunci Kerajaan Allah.
Sejak jaman para rasul, otoritas ini telah diwariskan melalui Sakramen Imamat dari uskup ke uskup, dan kemudian diperluas ke imam dan diakon. Uskup kita sendiri, andai mau, dapat menelusuri kembali otoritasnya sebagai seorang uskup hingga ke jaman para rasul. Bulan Mei yang lalu, diadakan tahbisan imamat di katedral kita.
Dalam tahbisan suci itu, Bapa Uskup menumpangkan tangannya ke atas kepala calon imam yang akan ditahbiskan. Dalam saat khidmad itu, suksesi Apostolik diwariskan.
Dalam terang iman, orang dapat melihat bukan saja Bapa Uskup, melainkan St Petrus dan St Paulus, bahkan Yesus Sendiri, menyampaikan tahbisan suci. Tidak ada uskup, imam ataupun diakon dalam Gereja kita yang menahbiskan dirinya sendiri atau memproklamirkan dirinya sendiri; tetapi otoritas itu berasal dari Yesus sendiri dan dijaga oleh Gereja.
Alasan ketiga mengapa saya seorang Katolik adalah karena kita percaya akan kebenaran, yakni kebenaran mutlak yang diberikan oleh Tuhan Sendiri. Kristus menyebut Diri-Nya sebagai “jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6).
Ia menganugerahkan kepada kita Roh Kudus, yang disebut-Nya Roh Kebenaran (Yoh 14:17), yang akan mengajarkan segala sesuatu kepada kita dan yang akan mengingatkan kita akan semua yang telah Ia ajarkan (Yoh 14:26). Kebenaran Kristus telah dipelihara dalam Kitab Suci.
Konsili Vatikan II dalam “Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi” memaklumkan bahwa, “segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa Kitab Suci mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita” (No. 11).
Kebenaran ini terus dipelihara dan diterapkan pada suatu masa dan budaya tertentu oleh magisterium, yakni otoritas mengajar Gereja.
Sementara kita menghadapi berbagai macam issue seperti bioetika atau euthanasia – masalah-masalah yang tak pernah dibicarakan secara spesifik dalam Kitab Suci – betapa beruntungnya kita mempunyai Gereja yang mengatakan “Cara hidup seperti ini adalah benar atau cara ini salah menurut kebenaran Kristus.”
Tak heran, Gereja Katolik menjadi berita utama di surat-surat kabar; kita adalah satu-satunya Gereja yang berpendirian tegas dan mengatakan, “Ajaran ini adalah benar selaras dengan pemikiran Kristus.”
Alasan lain mengapa saya seorang Katolik adalah karena sakramen-sakramen kita. Kita percaya akan ketujuh sakramen yang dianugerahkan Yesus kepada Gereja.
Masing-masing sakramen menangkap suatu unsur penting dari kehidupan Kristus, dan melalui kuasa Roh Kudus mendatangkan bagi kita keikutsertaan dalam kehidupan ilahi Allah.
Sebagai contoh, coba renungkan betapa anugerah maha berharga kita boleh menyambut Ekaristi Kudus, Tubuh dan Darah Tuhan kita, atau menyadari bahwa dosa-dosa kita telah sungguh diampuni dan jiwa kita dipulihkan setiap kali kita menerima absolusi dalam Sakramen Tobat.
Dan yang terakhir, saya seorang Katolik karena orang-orang yang membentuk Gereja. Saya mengenangkan begitu banyak para kudus: St Petrus dan St Paulus yang memelihara agar Injil hidup pada masa-masa awal. Pada masa penganiayaan Romawi, para martir awal Gereja – seperti St Anastasia, St Lusia, St Yustinus atau St Ignatius dari Antiokhia, yang pada tahun 100 menyebut Gereja “Katolik” – membela iman dan menderita aniaya maut karenanya.
Pada Abad-abad Kegelapan, ketika banyak hal sungguh “gelap”, memancarlah terang yang benderang dari St Fransiskus, St Dominikus dan St Katarina dari Siena.
Pada masa gerakan Protestan, ketika bidaah mengoyak Gereja, Gereja dibela oleh St Robertus Bellarmino dan St Ignatius Loyola, para reformator sejati. Saya berpikir mengenai para kudus yang hidup di jaman kita, seperti Moeder Teresa atau Paus Yohanes Paulus II, yang dari hari ke hari melakukan karya kudus Allah. Ada begitu banyak para kudus yang mengilhami masing-masing kita untuk menjadi warga Gereja yang baik.
Tetapi ada mereka-mereka yang lain juga. Pada waktu Misa, arahkanlah pandangan ke sekeliling gerejamu. Lihatlah pasangan-pasangan suami isteri yang berjuang untuk mengamalkan Sakramen Perkawinan dalam abad yang memperturutkan hawa nafsu dan perselingkuhan. Lihatlah orang-orangtua yang rindu mewariskan iman kepada anak-anak mereka.
Lihatlah kaum muda yang berjuang untuk mengamalkan iman kendati dunia yang penuh pencobaan. Lihatlah kaum lanjut usia yang tetap setia kendati perubahan-perubahan dalam dunia dan Gereja. Lihatlah para imam dan kaum religius yang membaktikan hidup mereka demi melayani Tuhan dan Gereja-Nya. Ada begitu banyak orang yang membentuk Gereja kita.
Ya, tak seorang pun sempurna. Kita berdosa. Itulah sebabnya mengapa salah satu doa terindah dalam Perayaan Misa dipanjatkan sebelum tanda damai; kita berdoa, “Tuhan Yesus Kristus, jangan memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu.”
Ya, kendati segala kelemahan manusia, Gereja, sebagai lembaga yang didirikan oleh Kristus, terus melaksanakan misi-Nya di dunia ini.
Singkat kata, itulah alasan-alasan mengapa saya seorang Katolik dan seorang warga Gereja Katolik Roma. Alasan-alasan ini bukanlah asal. Melainkan, mencerminkan permenungan mendalam dan pergulatan, setelah dibaptis Katolik, setelah melewatkan masa pendidikan di sekolah Sta. Bernadette, setelah lulus dari SMA West Springfield, dan setelah pergumulan sengit dengan iman sepanjang hari-hari perkuliahan di William and Mary dan kemudian di Seminari.
Saya harap setiap orang Katolik dapat dengan bangga memberikan suatu jawaban yang jelas dan mendalam atas pertanyaan, “Mengapa kamu seorang Katolik?”
Pastor William P. Saunders adalah imam diosesan asal Arlington, Virginia. Ia juga Dekan di Notre Dame Graduate School of Christendom College dan Pastor Paroki St Perawan Maria Ratu Para Malaikat di Aleksandria.
[Tulisannya ini dikutip dari www.catholicherald.com dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”]
Komentar