Katoliknews.com – Belasan umat Islam itu melaksanakan salat maghrib di lantai dua Aula Pastoran Gereja Santo Fransiskus Xaverius Kebon Dalem, Semarang, Jawa Tengah, belum lama ini.
“Silakan melaksanakan sholat maghrib di lantai atas. Tempat wudu ada di bawah,” kata Romo Aloysius Budi Purnomo, Pastor Paroki Kebon Dalem, sambil menunjukkan tempat sholat tersebut.
Tempat wudu yang dimaksud memang dibuat khusus, bisa digunakan beberapa orang sekaligus.
Wujudnya berupa bak tandon air besar yang diberi beberapa keran. Dari air jernih yang mengucur itulah, para muslim bersuci diri. Semuanya ada di lingkungan Gereja Katolik.
Itulah suasana akrab yang terlihat dalam acara Reuni Persaudaraan Sejati Lintas Iman. Mereka yang hadir memang berasal dari berbagai kalangan pemeluk agama dan kepercayaan, mulai Katolik—sebagai tuan rumah—Kristen, Konghucu, Islam, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Gusdurian, Ahmadiyah dan komunitas lain.
Mereka menggelar reuni yang dibarengi berbuka bersama bagi umat Islam. Acara dilanjutkan dengan diskusi yang membahas agama ramah lingkungan.
Romo Budi, demikian panggilan akrab Aloysius Budi Purnomo, mengaku sangat akrab dengan para santri.
Bahkan ia bercerita, ada seorang tokoh pengasuh Pondok Pesantren Pandanaran di Yogyakarta, Sleman, yang mengaku seiman.
“Beliau berkata, kami ini seiman; hanya berlainan agama,” ujar Romo Budi.
Dalam aula itu juga terlihat, ada sekitar tujuh orang dari Ahmadiyah yang merasa aman datang dan berbaur. Mereka berusia di atas 40-an tahun. Tidak ada mimik kuatir sama sekali.
Mereka yang berbeda agama pun menerima kalangan Ahmadiyah dengan ramah. Ini sebuah keakraban alami sesama manusia.
Ketika Yosua Reza dan Manasir dari Fakultas Teologi Univeristas Kristen Satya Wacana, Salatiga, berjumpa dengan beberapa santri putri, mereka saling menyapa dengan akrab.
“Hai, bagaimana kabarmu?” ujar Sisi, gadis berjilbab, menyapa Yosua.
Yosua dengan tersenyum menjawab, “Sehat-sehat saja!”
Yosua pun bercerita, ia dan Sisi pernah berjumpa pada Februari 2015 dalam acara Kemah Bersama Forum Kerukunan Umat Beragama di Kali Putih, Salatiga.
Di sana, berbagai kalangan muda dari berbagai pemeluk agama bertemu. Mereka saling kenal dan berdiskusi untuk saling tahu perbedaan.
“Meski berbeda, kami bisa saling peduli untuk sesuatu yang kami anggap perlu dibantu, misalnya kasus nasib Wong Sikep dari Komunitas Samin yang tanahnya akan tergusur karena dipaksa menjual guna mendirikan pabrik semen. Kami merasa tergugah. Di situlah kami merasa ada kebersamaan,” tuturnya.
Ahmad Sodiqin dari Universitas Wahid Hasyim Semarang mengungkapkan, situasi seperti itu sebenarnya kebersamaan yang mahal.
“Saya senang sekali bisa bersama dan peduli untuk sesuatu yang berguna. Kami memiliki perbedaan, namun bisa saling terbuka. Ini mahal sekali.”
Para ibu dari Pelayanan Masyarakat Paroki Gereja Kebon Dalem sudah sibuk sejak pukul 13.00.
“Kami membuat kolak dan makanan kecil. Hanya bakso dan nasi yang kami pesan. Sibuk, tapi senang,” kata Irma Hermawan didampingi Kumalawati.
Ada 20 ibu dibantu sekitar 10 pemuda dari Orang Muda Katolik yang menyiapkan acara reuni dan buka bersama itu.
Peduli Wong Samin
Acara dimulai dengan memutar video perjuangan Wong Sikep—sebutan untuk komunitas Samin—yang tinggal di Pati dan Rembang, Jawa Tengah.
Mereka adalah kelompok masyarakat Jawa penganut Saminisme. Mereka hidup sederhana dan menggantungkan diri dari hasil pertanian. Mereka mempertahankan diri tidak menyekolahkan anak-anaknya, namun mendidiknya sendiri.
Ketika PT Semen Gresik ingin mendirikan pabrik semen di Sukolilo, Kabupaten Pati, Wong Sikep menolak. Mereka tidak mau tanah garapannya beralih fungsi menjadi pabrik semen.
Gerakan menolak yang dipimpin Gunretno dan Gunarti itu dengan alasan pasti: mereka akan kehilangan lahan pertanian untuk anak-cucu mereka. Padahal, mereka memang hanya memastikan hidup dari pertanian.
Gerakan itu berhasil, meski lewat jalan proses hukum hingga 2009. Wong Sikep menang hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Akan tetapi, untuk gerakan menolak rencana pendirian pabrik semen di Rembang, mereka kalah saat proses hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang.
PT Semen Indonesia pun mulai mendirikan pabrik semen di Rembang. Proyek ini akan menggempur kawasan bukit kapur di Pegunungan Kendeng sebagai bahan semen.
Pada diskusi soal agama ramah lingkungan, Donny Danardono, pengajar Etika Lingkungan di Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, yang menjadi pembicara membawakan makalah “Katolik dan Lingkungan”.
Donny memaparkan pemikiran soal lingkungan dari Paus Fransiskus yang tertuang dalam surat edaran tertanggal 18 Juni 2015, berjudul “On Care for Our Common Home”.
Dalam surat edaran itu disebutkan, penyebab krisis lingkungan, seperti perubahan iklim, adalah etika antroposentrisme (yang menganggap manusia adalah pusat alam) yang berkembang di ruang publik (pemerintahan dan bisnis) maupun ruang privat (rumah tangga dan pendidikan).
“Paus tidak hanya mendorong perlunya dialog global, namun juga mendorong umat Katolik menyadari posisinya sebagai bagian kecil dari lingkungan ini,” ucap Donny.
Rini, seorang perempuan berjilbab, mengajak agar kepedulian terhadap lingkungan tidak berhenti pada wacana, namun harus ada tindakan nyata.
“Itu pernah dilakukan bersama ketika membersihkan mata air di Taman Budaya Raden Saleh Semarang. Gerakan lebih besar bisa terwujud dalam skala lebih luas,” tuturnya. (Diolah kembali dari laporan di Harian Sinar Harapan)
Komentar